:::: MENU ::::
  • Filosofi Tea

  • Diri Baru di Tahun yang baru (Sebuah refleksi akhir tahun)

  • Harga Diri, depresi hingga akhiri hidup dengan bunuh diri

Jumat, 24 November 2017




Tulisan ini saya buat karena sebuah peristiwa sore hari di akhir kerja yang sedikit membekas dihati. Ya, saat itu sebenarnya sebuah niat usil bercampur baik untuk meminta seorang teman mengikuti gym. Kenapa saya memintanya demikian, karena sejak awal kenal sampai dengan tulisan ini dibuat saya melihat teman saya ini melambai. Dia cowok tapi gerak jalan dan sifatnya menyamai kita kaum hawa.

Apa saya benci dengan orang seperti ini? tidak, orang orang seperti ini justru asyik diajak berteman. Dia seolah dianugrahi hati cewek yang jauh lebih peka daripada cowok kebanyakan. Kadang kita lupa akan kenyataan dia seorang cowo, sudah dianggap satu golongan sendiri yang cucok rumpik ala mak mak arisan.

Disisi lain saya juga merasa kasihan, miris memikirkan masa depannya. Bagaimana dengan kehidupan selanjutnya? Jika ia tetap sama apa iya akan mampu membangun sebuah kluarga? Ahh, anggap saja mampu. Keluarga yang seperti apa? Dunia terbalik seperti di sinetron RCTI itu yang tugas laki dan wanita nya tertukar? Simpelnya saya mikir gini, orang yang normal saja banyak lhoh yang masih jomblo nah lantas bagaimana dengan dirinya yang beda (bukan g normal lho ya)???

Saya kena marah di depan umum gara gara memintanya mengikuti gym. Pernah ngrasain atau minimal bisa kan ya ngebayangin kalau kamu diposisi saya. Marah, malu, sedih tu campur jadi satu. Belum bisa ngebayangin atau ngrasaainnya, saya kasih cuplikan situasinya deh:

W: Kamu ini dong ikut gym sama si A biar bagus badannya, keker begitu kan face sudah dapet itu.     Tinggal ngubah dikiit gayanya 
L: Ihhh apain sih, ya suka suka aku lah mau apa. Memang situ perfect? Enggak kan ya. Kalau mau nyuruh itu liat diri dulu dong. Kamu nggak suka sama aku ya sudah. Ntar aku berubah terus kamu jadi suka sama aku padahal aku nggak suka sama kamu ntar kamu sakit hati. 
W: (diem gua, ingin nonjok itu mulut yang nyerocos rasanya). Ya nggak begitu juga. Kan kalau berubah jadi lebih baik g papa
L: Situ sudah baik apa? udahlah nggak usah merintah merintah aku. Kalau nggak suka ya sudah. Aku memang begini kok. (lihat ekspresiku geram tambah nyolot ini bocah) Baru tahu kalau aku jahat? ya memang begini aku.. makanya
W: G baru tahu sih, sudah paham sejak dulu kala

Nah lho, nah lho... kalau ente ada di posisi ane bagaimana itu? Kebawak sampek pulang ke kos keselnya. Sudah mandi biar ini otak dingin nggak dingin dingin juga. Sudah istighfar, duduk, tiduran eh nggak ilang juga. Akhirnya buka HP, bukak sound cloud, cari muzammil dan surah ar rahman nya. Baru deh nyess di hati.

Sebenarnya saya cenderung tipikal orang introvert yang memendam jadi kalau ada masalah gini larinya ke mikir atau nulis. Kemudian saya berpikir, setiap orang akan ada batas ambang kesabaran. Pernah juga teman kantor saya pingsan karena diejek teman, mau berantem dilerai dengan teman teman. Padahal temenku ini cowok lho bisa segituya coba. Hayoo, stop berpikir teman teman cowok dikantor saya aneh aneh semua. Nggak kok, banyak yang normal juga hahahahaa.

Kondisi ketika seseorang diejek sebenarnya sudah masuk ke tahap bullying. Seseorang yang dibully dalam rentang waktu yang lama dan banyak orang akan membuat merasa rendah diri. Rendah diri disini merasa dirinya tak berharga tapi ini hanya mirip hibernasi singa yang lapar. Dalam beberapa waktu iya akan menerima, menyikapi dengan bercanda balik kemudian dierrrr duoorrr pada suatu ketika meledak emosinya seperti singa yang siap menerkam mangsa.

Nah sebenarnya yang salah ini siapa? Pembully ataukah yang dibully? Pembully? Bisa jadi. Dia tanpa sadar menyayat pelan hati seseorang. Dianggap sepele hanya bercanda pemanis obrolan tapi ia lupa bahwa canda yang mengejek mau dibuat dengan nada seperti apa jatuhnya tetap akan melukai. Yang dibully? Bisa jadi juga. Ada banyak stressos (penyebab stres) di sekitar, dimanapun dan kapanpun itu. Tugas kita adalah mengendalikan emosi kita. Mengelola stressor itu agar tidak menjadikan kita depresi, neurotic atau gejala psikis lainnya.

Jadi ini siapa yang salah ya? menurut saya ya keduanya. Coba deh kita memposisikan diri kita menjadi orang lain agar kita tahu batas batas kita memperlakukan orang lain. Kita perbanyak juga alternatif copying stres (mengatasi stres). Jika biasanya kita mendem saja, mulailah nulis, nyanyi, jalan jalan, berkebun, berfoto, dll.

Kembali ke laptop. Eh, maksudnya kembali ke kasus teman saya yang sewot setelah tak minta buat nge-gym. Saya merasa bersalah karena menjadi pelaku bullying. Maaf ya mas broo. Memang benar katamu, saya nggak perfect begitupun manusi pada umumnya, g ada yang sempurna. Ada kala karena ketidaksempurnaan pribadi itu, menjadikan kita peduli pada orang lain. Menginginkan perubahan pada orang lain bukan karena diri ini sudah baik, tapi karena ingin kita sama sama menjadi lebih baik. 

So, pembaca yang budiman yuk mari kita koreksi diri masing masing. Ingat becanda ala kadarnya saja, becanda yang tidak menjatuhkan dan melukai orang lain. Perhatikan orang yang kamu nasehati dan intropeksi diri terlebih dahulu. Kenali stressor stressor disekitarmu dan pilihlah copying stress yang sesuai. Semoga hidup kita damai dan mendamaikan orang lain. Jangan lupa untuk memafkan ya, jangan jadikan diri kita pendendam.

0 komentar:

Posting Komentar

A call-to-action text Contact us