:::: MENU ::::
  • Filosofi Tea

  • Diri Baru di Tahun yang baru (Sebuah refleksi akhir tahun)

  • Harga Diri, depresi hingga akhiri hidup dengan bunuh diri

Selasa, 07 Mei 2013




Memorian, 32 Jam di Ponorogo

Perjalanan ini…. terasa sangat melelahkan
Sayang engkau tak duduk disampingku kawan
Banyak cerita…..
Yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering,
Bebatuan
(Ebit G. Ade)

            Sabtu pagi usai shubuh berkumandang, kurasa getar dari atas ranjang—tepat disampingku. Ponselku nampaknya sudah bordering sejak beberapa menit yang lalu, namun baru sekarang mampu kudengar irama merdunya. Dengan mata sayu kuangkat telepon dari teman lama di organisasi yang menyibukkanku dengan beragam kegiatan. Ahhh, telpon dari Kak Dwi. Ada apa gerangan pagi-pagi buta begini, ia menelponku. Aku terdiam sesaat. Berpikir. Aku letakkan kembali ponselku di atas ranjang dan berlari ke kamar mandi.

            Malang di pagi hari membuatku enggan untuk mandi, tapi tetap aku paksakan. Aku baru ingat kalau pagi ini aku dan kelima teman-teman KSR harus berangkat ke medan laga di Ponorogo. “Eka, jam setengah lima kita kumpul di markas. Jam lima kita berangkat ke landung dianter temen-temen. Kita naik bis umum untuk ke Ponorogo”, kata-kata kak Wiwit berputar dalam telingaku—membentur gendang teliga kemudian kembali berdengung suara seperti itu lagi. Tuhan, pasti aku akan datang telat diantara kami berenam. “Ma’af kawan, semalam aku tidur terlalu larut hingga bangun agak siang dan belum melakukan packing barang”, gumamku membela diri.

            Mandi pagi cukup lima belas menit. Ponselku masih saja menyanyi dan menari sampai kudengar kakak satu kamarku meneriakkan kata, “akhwat, lagunya lho”. “Afwan, kak”, jawabku seraya mempercepat langkah mendekati ponsel. Ada tiga pesan baru dan tujuh panggilan tidak terjawab. Tertulis dari KSR Meiria, KSR Kak Dwi, KSR Kak Wiwit. Woooowww… sesaat aku tersenyum merasa seperti orang penting dan sangat dibutuhkan melihat banyaknya yang menghubungiku. (heheeeeeheee)

            Singkat cerita, kami berempat (aku, Meiria, kak Wiwit dan satu orang teman yang tak terduga kebersamaannya bersama kami—Anang). Kami bertemu di terminal Landungsari, buru-buru mengejar bus Puspa Indah yang akan berangkat. “mana baramg bawaan yang katanya banyak sampai aku nggak boleh berangkat duluan ke terminal naik angkot?” tanyaku pada mereka setelah masing-masing dari kami duduk di kursi penumpang. “noo, kardus itu. Jaga baik-baik kardusnya. Itu harga mati kita. Sesampainya di Ponorogo  kita makan habis itu nata tempat dan dilanjutkan dengan briefing tugas esok hari”, ujar PJ (penanggungjawab) Rayon Ponorogo. “OK. Aku juga lapar belum sarapan”.

            Pukul 06.00 kita meninggalkan kota Malang dan beranjak ke Jombang lewat Batu. Hening, tanpa suara. Semua diam entah menahan mualnya perut yang teraduk karena lintasan batu-pujon yang berkelak-kelok ataukah melambung dalam alam mimpi masing-masing. Anang yang biasanya ramai, juga terdiam. Duduk di kursi paling belakang—menyandarkan badan ke jendela yang tak bisa dibuka di sebelah kiri, menatapi ponsel dan menggerakkaan jemarinya. Aku tertawa dalam hati melihat ekspresi teman-teman. Mereka menahan sakit dan mencoba membuat nyaman diri mereka sendiri. Ini perjalanan panjang—6 jam—dengan rute yang belum pernah mereka lewati. Suyngguh lucu melihat mereka dalam keadaan yang demikian.
           
            “Ka, kamu sudah pernah lewat sini kan? Masih berapa lama lagi sampai di jombang?” Tanya Kak Wiwit ketika bus kami berhenti lama di daerah kabupaten Kediri. “sekarang jam berapa? (aku mencoba menerka dengan mengurangkan angka tiga dengan waktu yang telah kami tempuh). Mungkin sekitar satu atau satu jam setengah lagi”. “ahhh, masih lama”.  Sebetar kemudian Kak Wiwit tertawa riuh di belakang karena Anang bertingkah konyol.

            “Mas, sampeyan rayonisasi dimana? Kita nanti berarti mencar sendiri-sediri          no. Aku rayonisasi di Bojonegoro.”
            “Lhoh… Mey iki yo opo sech. Ngapain dia nitipin camdig ke Anang lo kita           beda tempat.            Ahh, mungkin nanti sebelum pencar camdignya diminta lagi           oleh Mey”, geming Kak Wiwit.
            “Hah…. Opo Bojonegoro. Kita i semua Rayoisasi ke Ponorogo, Anang. Bukan             Bojonegoro. Aku memang asli Bojonegoro tapi nggak ikut rayon Bojonegoro.             Ponorogo”. Sambung Mey dengan senyum dan nada tegas di akhir kalimatnya.
            “Ealah. Tak kirain aku ditempatkan di Bojonegoro lha semalem aku ngangkat       telpon dari Mbak Nike dengan setengah sadar ngono. (Anang mempraktekkan      ia mengangkat ponsel             dengan kedua jari memegang gagang ponsel again atas        dan dengan mata masih menutup             seraya mengatakan, ‘ohhh.. iyo Mbak.           He’em..he’em’).
            “Aduh. Anang. Beda atuh Ponorogo dengan Bojonegoro. Rutene aja dah    beda”,             sambungku sambil tertawa.

            Berkat Anang kami beremapt bisa tertawa leps dan sejenak melupakan penat karenan lamanya perjalanan. Perjalanan sungguh panjang, usai tiga jam perjalanan sampai dengan Randu, Jombang. Kami melanjutkan perjalanan kembali dengan tujuan kota Ponorogo dengan Bus Panda Hijau (Bus Restu). Kasihan Anang, karena maksimal bangku di Bus cuma terdiri dari tiga kursi, Anang harus duduk di bangku belakang kami sendirian.

            Beda cerita antara kami yang berada di Bus Puspa Indah yang difasilitasi AC (angin candela) dengan bus Restu yang punya AC beneran. Di Bus ini kami sunguh sangat ramai. Berdebat tentang warning ataukah jagung yang akan dibeli, mana yang lebih banyak akan dibeli—warning ataukah jagung, pilih beli koro, melinjo, kacang telur, ataukah permen tape, berapa jumlah masing-masing yang akan dibeli. Konyolnya lagi, kami menarik Pak Penjual Koro dkk ketika akan turun dari bus karena kami belum selesai memutuskan apa dan berapa yang akan kami beli. Menggelikan. Sampai-sampai penumpang di kursi depan kami banyak kali menoleh kebelakang.

             Tiga jam kemudian kami tiba di terminal Ponorogo. Lelah sekali rasanya tubuh ini. Enam jam perjalanan, dan masih harus dilanjutkan dengan 15 menit lagi perjalanan ke SMAN 2 Ponorogo dengan bus jurusan Trenggalek. Keluar dari Bus Restu dengan fasilitas AC dan pertama masuk ke Bus Trenggalek tanpa AC, rasanya seperti di masukkan dslam oven. Sudah tahu udara panas seperti itu, malah kami masih disuruh menunggu lama sekali. Rasanya benar-benar seperti diminta duduk manis di atas panggangan roti dan dinyalakan di atas kompor. Panas… Gerah.. Capek, berbaur jadi satu. Anang, tak bisa berkutik ketika berada di bus ini. Enam jam yang lalu ia terjaga disaat kami semua tidur, sekarang giliran ia yang merebahkan badan pada tasnya kemudian memejamkan mata.

            SMAN 2 Ponorogo, sekolah yang tertata rapi namun cukup sepi ketika kami sampai disana. Rencana awal tak terlaksana sewajarnya, kami membersihkan dan menata empat ruang kelas terlebih dahulu sebelum akhirnya makan siang di kantin sekolah. Hahahhaha…. Kagi-lagi hal konyol dan menggelikan terjadi. Kini setting tempatnya berada di kantin. Ponorogo benar-benar kota yang panas sekali, sampai-sampai Aku dan Anang menghabiskan 3 gelas minuman dalam waktu yang singkat. Mey dan Kak Wiwit juga begitu, hanya saja mereka menghabiskan 1 gelas minuman lebih sedikit dari kami. Mey dan Kak Wiwit terheran melihat aku dan Anang yang makan sambel begitu banyak. “Gila, satu mangkok sambel habis oleh kalian berdua,” gumam Kak Wiwit dan Mey Ria.

            Usai makan kami melanjutkan perjalanan ke kediaman Kak Dwi. Sayang sekali, satu motor bocor dan harus segera ditambal. Lucunya dalam pencarian tambal ban, Kak Dwi tidak menyadari kalau Lucy tertinggal di sekitaran pawai anak TK. Ia harus alik arah menjemput Lucy yang tertinggal.

            Di rumah Kak Dwi kami berlima dijamu dengan teramat baik. Disuguhkan jus jambu biji, roti jawa, juga dimasakkan makan malam dan  pagi yang lazis mantap kali, ditambah lagi snack ringan, buah-buahan, juga minuman hangat di pagi hari setelah bangun dari tidur. Penjamuan yang begitu istimewa. Malam hari usai makan malam, sebenarnya kami berencana berkeliling alun-alun dan melihat nuansa kota Ponorogo tatkala malam, sayangnya langit menagis begitu hebat sambil berteriak memekakkan telinga. Pukul 10.00 baru langit tenang, tapi kami teranjur menikmati istirahat malam hingga akhirnya rencana pergi ke alun-alun tinggallah rencana.

              Pagi menjelma begitu cepat, kami berenam bergegas erangkat ke SMA dengan 2 sepeda motor. Sesampainya di sana peserta sudah bergerumbul dengan team mereka masing-masing. Dalam hati malu rasanya, peserta sudah datang sedangkan kami dri pihak panitiamasih belu siap. Kami masih harus menyiapkan meja kesekretariatan, meja tempat souvenir, memasang bendera PMI, juga yang tak kalah penting mengecek kelengkapan berkas ujian tulis dan melakukan briefing sebelum akhirnya memasuki ruang ujian. Ujian berlangsung dengan tertib dan kondusif mulai pukul 10.00 hingga pukul 12.00.

            Pagi hari suasana agak memanas karena terjadi sedikit kericuhan dengan pendamping team dari sebuah sekolah yang tidak terima dengan adanaya peraturan “peserta yang diganti harus mengikutsertakan surat keterangan sakit maksimal pukul 13.00 hari itu juga”. Pendamping tersebut sampai melaporkan ke PMI Daerah Jawa Timur via telepon dan mencari dukunga dari mereka. Kami tak gencar dengan adanya masalah yang demikian. Inilah peraturan yang kami miliki dan tlah disepakati bersama oleh Panitia Jayapalmera VII KSR PMI Unit UM. Setiap permainan mempunyai aturan yang harus dipatuhi, barangsiapa ingin ikut bermain maka taatilah peraturan permainan yang telah ada tersebut.
            Pukul 14.00 kami berlima meninggalkan SMAN 2 Ponorogo menuju alun-alun kota. Kami melihat sebatas lewat memutari alun-alun, makan siang di warung pojok dekat Masjid Agung yang menyediakan makanan dengan harga selangit beda sekali dengan kantin SMAN 2 Ponorogo yang menyediakan makanan dengan harga pas di kantong. Naik bus jurusan terminal Ponorogo dan lanjut dengan Bus Restu untuk pulang ke Jombang. Melalui rute yang sama seperti berangkat, semuanya pulang ke Malang kecuali aku. Aku memisahkan diri di terminal Madiun—pulang ke Ngawi dengan bus sugeng Rahayu dengan satu jam perjalanan.

            Meski takbanyak yang kami lakukan di Ponorogo, 32 jam memberikan pengalaman yang menarik dan berkesan bagi kami. Suatu ketika ketika kami kembali ke kota reog tersebut, kota Ponorogo akan berkisah tentang masa silam kami disana. Kadang tersenyum hingga tertawa keras bersama, bingung dan saling memarahi, menikmati kudapan bersama. Sampai nanti. Kawan. Terimakasih pula untuk kakak alumni yang telah berkenan hadir dan membawakan banyak makanan kepada kami. Dengan setulus hati kami merasa senang dengan kehadiran kalian yang masih ingat dan peduli dengan KSR beserta anggotanya. Kami merasa tersanjung dengan kehadiran kalian dan bantuan yang telah kalian berikan.

0 komentar:

Posting Komentar

A call-to-action text Contact us