Informasi Detil Buku
Judul : Habibie dan Ainun
Pengarang : Bacharuddin Jusuf Habibie
Penerbit : The Habibie Centre Mandiri, Jakarta, November 2010
Halaman : xii + 323 halaman
Judul : Habibie dan Ainun
Pengarang : Bacharuddin Jusuf Habibie
Penerbit : The Habibie Centre Mandiri, Jakarta, November 2010
Halaman : xii + 323 halaman
Gula Jawa
Awal pertemuan “dua pasang sejoli”,
berlangsung penuh warna. Ainun, oleh Habibie disebut sebagai Gula Jawa, karena
hitam dan gemuk. Sebutan ini tentu terasa tak sopan dan mengagetkan. Tetapi
hanya tujuh tahun kemudian (paska Habibie pulang dari Jerman), Habibie meralat:
Ainun, kamu sekarang adalah Gula Jawa yang menjadi Gula Pasir (cantik dan
putih). Di sisi lain, saat itu banyak pihak yang meragukan kemampuan Habibie,
untuk dapat merebut hati Ainun.
Tertulis di halaman 6: Kamu
(maksudnya Habibie) harus tahu diri, kamu harus tahu Keluarga Ainun itu siapa?
Sainganmu anggota keluarga terkemuka di Indonesia, berpendidikan lebih tinggi
dari kamu, kaya, ganteng, sementara kamu siapa? Sepeda motor saja kamu tak
punya.
Keyakinan kuatlah yang kemudian
mengantarkan keduanya ke gerbang pernikahan, pada tanggal 13 Mei 1962, di Hotel
Preanger, Bandung. Lalu, terkuaklah gerbang suka dan duka, terutama masa-masa
awal kehidupan mereka di Jerman.
Saat itu, Habibie baru bisa bekerja
sebagai Asisten dan tenaga peneliti untuk seorang Professor , bernama Hans
Ebner. Dengan gaji DM 1.300 (atau sekitar 680 Euro). Penghasilan ini tak jauh
dari cukup untuk mereka berdua. Untuk menghemat, semuanya dikerjakan sendiri.
Ainun bahkan harus menjahit sendiri pakaian mereka. Sementara Habibie, terpaksa
haru berjalan kaki pulang dari kantor —yang melewati kompleks pekuburan
(halaman 20).
The Big Ainun
Hasri Ainun selalu mampu memberikan
dukungan untuk Sang Suami, termasuk ketika sang suami terbentur jalan buntu
untuk menyelesaikan pekerjaannya. Misalnya, di saat Habibie nyaris menyerah
dalam menghitung teori Thermo Elstisitas, yang sudah ia kerjakan siang
dan malam. Dengan pelukan dan ciuman di dahi, Ainun membisikkan saran
meyakinkan: Saya mengenal dan yakin atas keunggulanmu, apa yang kamu lakukan
sudah benar, mungkin hanya ada kesalahan kecil.
Ainun pula yang mengingatkan
Habibie, ketika menghadapi tawaran menggoda dari “perang kedirgantaraan” antara
perusahan-perusahan besar yang memproduksi pesawat terbang, terutama Inggris,
Perancis, dan Amerika. Habibie hanya tinggal memilih, apakah terlibat sebagai
ahli rekayasa untuk pesawat Supersonic Concorde atau Supersonic
Transporter. Ainun meminta agar Habibie jangan melanggar sumpahnya, untuk mengabdi
pada Tanah Air Indonesia.
Periode berikutnya, Habibie melesat
sebagai meteor. Berbagai tawaran datang, baik dari dunia industri dirgantara
internasional, maupun dari berbagai rezim pemerintahan. Buku ini juga menguak,
bahwa Ferdinand Marcos, dictator Filipina, pun sempat membujuk Habibie untuk
membangun industri pesawat di Filipina (halaman 103). Namun pilihan tetap jatuh
ke panggilan hati nurani: balik ke Indonesia. Sebelumnya, memang berkali-kali
datang utusan Indonesia guna membujuk Habibie. mulai dari Adam Malik, Syarief
Thayeb, Ibnu Soetowo, hingga Pak Harto sendiri yang meminta.
Lagi-lagi Ainun hadir memberi
dukungan. Meski telah menetapkan pilihan, pikiran ragu dan berbagai
pertimbangan tetap mengemuka. Habibie dan kawan-kawan sering menganalisis
berbagai kemungkinan. Kawan-kawan Habibie banyak yang mengingatkan agar tak
menerima “godaan” Pak Harto —mengingat figure Pak Harto yang dikenal sebagai
tiran. Terbukti, dari sejumlah orang Indonesia yang sekolah di Jerman, banyak
yang tak bersedia bergabung dengan Habibie. Ainun lah yang mengukuhkan
kepastian pilihan, mendampingi di setiap pasang surut perjuangan. Penampilan,
wajahnya, senyumnya, senantiasa mengilhami, menjadikan sesuatu yang tidak
mungkin menjadi mungkin (halaman 110).
Fase yang tak kalah berat, justru
mengalir setelah Habibie berkibar. Menjadi Menteri Riset dan Teknologi, menjadi
Ketua Umum ICMI, dan terakhir menjadi Presiden RI. Sang Isteri tak tinggal di
belakang buritan, ia juga proaktif berjuang bersama, lewat wadah yang memungkinkan
untuk menjadi penopang manusia unggul bernama B.J. Habibie.
0 komentar:
Posting Komentar