:::: MENU ::::
  • Filosofi Tea

  • Diri Baru di Tahun yang baru (Sebuah refleksi akhir tahun)

  • Harga Diri, depresi hingga akhiri hidup dengan bunuh diri

Senin, 24 September 2012




Informasi Detil Buku
Judul               : Habibie dan Ainun
Pengarang       : Bacharuddin Jusuf Habibie
Penerbit           : The Habibie Centre Mandiri, Jakarta, November 2010
Halaman          : xii + 323 halaman

Gula Jawa

Awal pertemuan “dua pasang sejoli”, berlangsung penuh warna. Ainun, oleh Habibie disebut sebagai Gula Jawa, karena hitam dan gemuk. Sebutan ini tentu terasa tak sopan dan mengagetkan. Tetapi hanya tujuh tahun kemudian (paska Habibie pulang dari Jerman), Habibie meralat: Ainun, kamu sekarang adalah Gula Jawa yang menjadi Gula Pasir (cantik dan putih). Di sisi lain, saat itu banyak pihak yang meragukan kemampuan Habibie, untuk dapat merebut hati Ainun.


Tertulis di halaman 6: Kamu (maksudnya Habibie) harus tahu diri, kamu harus tahu Keluarga Ainun itu siapa? Sainganmu anggota keluarga terkemuka di Indonesia, berpendidikan lebih tinggi dari kamu, kaya, ganteng, sementara kamu siapa? Sepeda motor saja kamu tak punya.


Keyakinan kuatlah yang kemudian mengantarkan keduanya ke gerbang pernikahan, pada tanggal 13 Mei 1962, di Hotel Preanger, Bandung. Lalu, terkuaklah gerbang suka dan duka, terutama masa-masa awal kehidupan mereka di Jerman.


Saat itu, Habibie baru bisa bekerja sebagai Asisten dan tenaga peneliti untuk seorang Professor , bernama Hans Ebner. Dengan gaji DM 1.300 (atau sekitar 680 Euro). Penghasilan ini tak jauh dari cukup untuk mereka berdua. Untuk menghemat, semuanya dikerjakan sendiri. Ainun bahkan harus menjahit sendiri pakaian mereka. Sementara Habibie, terpaksa haru berjalan kaki pulang dari kantor —yang melewati kompleks pekuburan (halaman 20).


The Big Ainun

Hasri Ainun selalu mampu memberikan dukungan untuk Sang Suami, termasuk ketika sang suami terbentur jalan buntu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Misalnya, di saat Habibie nyaris menyerah dalam menghitung teori Thermo Elstisitas, yang sudah ia kerjakan siang dan malam. Dengan pelukan dan ciuman di dahi, Ainun membisikkan saran meyakinkan: Saya mengenal dan yakin atas keunggulanmu, apa yang kamu lakukan sudah benar, mungkin hanya ada kesalahan kecil.


Ainun pula yang mengingatkan Habibie, ketika menghadapi tawaran menggoda dari “perang kedirgantaraan” antara perusahan-perusahan besar yang memproduksi pesawat terbang, terutama Inggris, Perancis, dan Amerika. Habibie hanya tinggal memilih, apakah terlibat sebagai ahli rekayasa untuk pesawat Supersonic Concorde atau Supersonic Transporter. Ainun meminta agar Habibie jangan melanggar sumpahnya, untuk mengabdi pada Tanah Air Indonesia.


Periode berikutnya, Habibie melesat sebagai meteor. Berbagai tawaran datang, baik dari dunia industri dirgantara internasional, maupun dari berbagai rezim pemerintahan. Buku ini juga menguak, bahwa Ferdinand Marcos, dictator Filipina, pun sempat membujuk Habibie untuk membangun industri pesawat di Filipina (halaman 103). Namun pilihan tetap jatuh ke panggilan hati nurani: balik ke Indonesia. Sebelumnya, memang berkali-kali datang utusan Indonesia guna membujuk Habibie. mulai dari Adam Malik, Syarief Thayeb, Ibnu Soetowo, hingga Pak Harto sendiri yang meminta.


Lagi-lagi Ainun hadir memberi dukungan. Meski telah menetapkan pilihan, pikiran ragu dan berbagai pertimbangan tetap mengemuka. Habibie dan kawan-kawan sering menganalisis berbagai kemungkinan. Kawan-kawan Habibie banyak yang mengingatkan agar tak menerima “godaan” Pak Harto —mengingat figure Pak Harto yang dikenal sebagai tiran. Terbukti, dari sejumlah orang Indonesia yang sekolah di Jerman, banyak yang tak bersedia bergabung dengan Habibie. Ainun lah yang mengukuhkan kepastian pilihan, mendampingi di setiap pasang surut perjuangan. Penampilan, wajahnya, senyumnya, senantiasa mengilhami, menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin (halaman 110).


Fase yang tak kalah berat, justru mengalir setelah Habibie berkibar. Menjadi Menteri Riset dan Teknologi, menjadi Ketua Umum ICMI, dan terakhir menjadi Presiden RI. Sang Isteri tak tinggal di belakang buritan, ia juga proaktif berjuang bersama, lewat wadah yang memungkinkan untuk menjadi penopang manusia unggul bernama B.J. Habibie.



0 komentar:

Posting Komentar

A call-to-action text Contact us