Peserta Cerita dari Jogja Batch 1 |
Agar kita merasa bodoh dan menjiwai bahwa kita sedang memintarkan diri.
Sabtu, 23 September 2017 kemarin, saya berkesempatan untuk mengikuti workshop Cerita dari Jogja Batch #1. Workshop CERITA ini digagas oleh Duta Cerita Yogyakarta dari The Habibie Center. Iya, pada kesempatan itu saya merasa berada di kelas yang benar.
Saya adalah satu di antara 18 peserta yang beruntung dari 120an pendaftar. Senang dan bangga tentunya. Bagaimana tidak, seleksi cukup ketat mulai dari submit CV kemudian wawancara via skype. Padahal tahu skype saja baru dan belum pernah makai sama sekali. 😅
Lalu apa yang dipelajari dalam workshop ini? Singkatnya, belajar bercerita, menyampaikan apa yang ada dalam kepala. Seharian penuh.
Versi lengkapnya, mulai dari datang kita diminta untuk membacakan kemudian menandatangani Piagam Cerita. Piagam ini isinya perjanjian selama mengikuti kegiatan, ya seperti tata tertib berkegiatan begitu deh. Lanjut kita outbond di lapangan. Outbond ini terdiri dari beberapa permainan, pertama main "bola kulempar dikau ku kenal". Sudah bisa ditebak tujuan dari outbound ini adalah untuk lebih mengenal satu sama lain. Masing masing peserta diminta menyebutkan nama panggilan dan satu kata yang menjadi ciri khasnya. Yang paling keinget dari permainan ini adalah Kak Windu, Rumput Laut.
Kedua, ada permainan kartografi. Kita diminta untuk mencoba menerka ada di bagian peta sebelah mana ketika trainer mengatakan sebuah nama. Disini kita mulai diajarkan tentang keberagaman dan menyikapai keberagaman itu.
Oh ya sebenarnya kata cerita dalam workshop ini bukan semata mata bermakna berbagi kisah kepada orang lain. CERITA adalah kepanjangan dari Community Empowerment in Raising Inclusivity and Trust through Technology . Sebenarnya workshop ini adalah sebuah workshop yang menyinergikan kemampuan storytelling dan transformasi konflik untuk membangun inklusivitas. Inklusivitas adalah sudut pandang positif terhadap berbagai keberagaman dan perbedaan. Belajar menggunakan sudut pandang orang lain dalam melihat dan menganalisis permasalahan.
Balik lagi ke acara Outbound tadi, selesai acara di lapangan kita kembali masuk ruangan dan mulai materi. Materinya seputar keberagaman dan storytelling. Asiknya materi ini diselingi dengan praktek langsung. Kita diminta bermain peran, sesuai dengan kertas yang dibagikan. Mencoba menjadi orang lain dan memandang dari sudut pandang orang lain.
Selesai materi storytelling, kita diminta untuk bercerita dalam kelompok kecil (9 orang) dalam waktu 4 menit. Ini moment paling horor selama acara. Dikasih satu benda, diberi 1 menit berpikir cerita dan langsung bercerita kepada kelompok dalam waktu 3 menit.
Saat itu kelompok kami dapat benda "kunci" dan karena tak banyak waktu untuk merangkai cerita akhirnya saya menceritakan cerita teman saya, Tika yang pernah mengabdi sebagai guru SM3T di Papua. Terimaaksih ya Tika, ceritamu waktu menginap dikosku menyelamatkan dari bom waktu ini. Hehe. Cerita ini juga jadi cerita favorit yang menginspirasi dari teman teman kelompok.
Puncaknya, peserta akan dipasangkan secara acak dengan peserta lain untuk berkolaborasi bercerita. Masing masing cerita 5 menit dan akan ada cerita berdua dengan durasi 3 menit. Partner saya dalam tugas ini adalah Eno, Mahasiswa S2 MM Manajemen UGM. Dia seorang blesteren dengan aksen inggrisnya yang cukup kental. Nah Eno dan aku sama sama gugupnya karena tidak terbiasa bercerita di depan umum. Kita selalu berdoa, "please jangan kami selanjutnya ya Allah". Terdengar doa kekanak-kanakan namun ternayat di kabulkan Allah. Kami tampil sebagai penutup.
Lalu apa yang saya ceritakan??? Yang ini saya tidak berani mengarang indah seperti sebelumnya. Menggunakan cerita orang lain ditambah improvisasi buknalah pilihan yang tepat ketika harus bercerita di atas panggung dengan penonton yang banyak dan dinilai langsung. Saya ambil aman, cerita pengalaman pribadi sebagai relawan gunung kelud.
Cerita ini sukses membuat penonton terdiam dan menghancurkan image anggun mereka pada diri saya. Mereka tidak percaya kalau saya bisa jadi se gentle itu, berada di antara abu vulkanik mendekati puncak, bermukim dengan penduduk dan kesibukan kerja relawan yang sering bergonta ganti tugas. Komentator, Kak Cyn.. malah lebih terheran lagi dan penasaran dengan cerita si mbah putri yang ditinggal keluarga nya dalam bencana.
Hembh... Bersama dengan 18 orang baru, membuat saya sama sekali merasa bahwa saya belum bersyukur seutuhnya atas apa yang Allah anugerahkan. Mereka memberi contoh langsung pada saya bagaimana mereka jauh lebih bisa mengelola sumber daya yang ada dalam dirinya.
Punya kelebihan kemampuan berbicara, Kak Pristi membuka sekolah public speaking. Punya kemampuan dalam mendidik anak, Kak Marti membuka bimbingan belajar. Dan banyak lagi.
Sedangkan saya saat ini? Butiran debu yang menetap dengan rutinitas kantor sebagai CS.
Dari kelas tersebut saya juga mendapatkan sesuatu. Yakni peningkatan keyakinan bahwa di dunia digital seperti sekarang ini, bukan hanya dibutuhkan sarjana teknologi informasi. Para kaum muda dengan kelebihan kemampuan untuk merangkai fakta dan data menjadi cerita sama pentingnya juga amat dibutuhkan.
Kenapa?
Karena sekarang jamannya perang cerita, perang kata-kata, bukan angkat senjata.
Semakin banyak hoax dan berita serampangan harus diperangi dengan memperbanyak kata-kata baik, cerita-cerita baik, dan segala-gala yang datang dan ditulis dari hati yang baik. Memanfaatkan teknologi. Tidak cukup hanya dengan mencibir hoax dalam obrolan di meja makan.
Terima kasih, The Habibie Center yang sudah memberikan saya kesempatan.
Dan terima kasih juga Anda yang mau membaca tulisan saya hingga kalimat ini.
Setelah ini, kembalilah ke layar kaca Anda, dan mulai sebarkanlah kata-kata baik lewat media sosial.
0 komentar:
Posting Komentar