Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat siang, salah sejahtera bagi kita semuanya.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadhirat
tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenan-nya-lah, kita semua dapat hadir di
sini untuk bersama-sama melaksanakan gathering pada hari ini.
Suatu kehormatan dan kebanggaan kami anggota Komunitas Boko dan
para pendamping diundang oleh Yayasan CIQAL dalam kegiatan ini. Terimakasih
atas kehadiran perwakilan dari APH, Pemerintah dan Dewan Masyarakat Umum
penyandang Disabilitas serta ibu / bapak undangan yang lainnya pada acara Gathering
ini. Di tengah berbagai kesibukan semuanya, betapa besar perhatian dan
kepedulian kalian atas kehidupan para penyandang disabilitas termasuk masalah kekerasan
yang mereka alami.
Pada kesempatan ini perkenankan pula saya menyampaikan
terimakasih kepada peserta Gathering yang berjumlah 200 peserta yang mewakili
semua lapisan masyarakat.
Hadirin yang saya hormati,
Menyadari betapa pentingnya arti kehidupan ini, betapa
pentingnya kelengkapan fisik dan mental yang kita punya, dan juga betapa
sulitnya menjalani kehidupan bagi si penyandang disabilitas. Di dunia ini,
banyak sekali orang yang mengalami kecacatan. Baik merupakan cacat fisik maupun
cacat mental. Ada yang tidak bisa mendengar (Tuna Rungu), tidak bisa melihat
(Tuna Netra), ataupun yang tidak bisa berbicara (Tuna Wicara), dan masih banyak
lagi yang tidak bisa saya paparkan satu persatu. Jadi, seharusnya kita perlu
bersyukur kepada-Nya karena kita masih diberi kelengkapan, baik fisik maupun
mental. Karena bisa saja terjadi sesuatu kepada kita yang menyebabkan kita
kehilangan kaki atau tangan kita (Tuna Daksa).
Hidup ini tidak bisa ditebak, kadang di atas, kadang di bawah.
Kadang senang kadang sedih. Kadang lengkap kadang pula kurang. Maka dari itu
kita tidak boleh meremehkan apalagi menjauhi mereka yang menyandang cacat. Kita
harus berusaha berempati kepada mereka. Coba kita bayangkan. Bagaimana kalau
anak kita nanti mengalami keterbelakangan mental. Atau bayangkan saja jika kita
sendiri yang mengalami kecacatan.
Bagaimana kalau terus dihina dan menyebabkan begitu
terpukul. Begitu pula dengan penyandang cacat dia pasti akan sedih bila terus
dihina dan dijauhi. Saya terkadang berfikir dengan mereka yang selalu memandang
sebelah mata si penyandang cacat. Apakah mereka semua tidak puas melihat
kekurangan para penyandang cacat? Atau mungkin mata hatinya sudah tertutup.
Mereka yang menghina sebetulnya tidak lebih baik dari mereka yang dihina.
Saya lebih miris ketika mendengar kekerasan terjadi pada paradifabel.
Jangan kan orang lain, masih sering kita jumpai pihak keluarga tidak merawat
anggota keluarganya yang difabel secara manusiawi. Bahkan mereka cenderung malu
dan menyembunyikan keluarga mereka yang menyandang difabel tersebut. Rasa aman,
nyaman, perhatian dan kasih sayang yang seharusnya dinikmati semua anggota
keluarga tidak diperoleh difabel. Namun perlakuan yang tidak manusiawi terhadap
difabel dalam keluarga masih dianggap sebagai sesuatu yang wajar di masyarakat.
Buktinya sampai saat ini belum ada keluarga yang memperlakukan difabel
semena-mena dilaporkan ke pihak yang berwajib.
Padahal kekerasan yang dialami
difabel sudah memenuhi unsur kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Undang-undang
No. 24/ 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 (2)
yang berbunyi “kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Bukankah
membiarkan difabel dalam kondisi tanpa perawatan yang layak merupakan sebuah
penelantaran yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap difabel? Bukankah
kekerasan yang dialami oleh difabel merupakan sebuah bentuk pelanggaran hak
asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan karena difabel juga manusia?
Di lain sisi, sementara para difabel tengah bergulat melawan stigma
diri dan stigma sosial, para pelaku kekerasan seksual mengambil kesempatan dari
ketidakberdayaan mereka.Pandangan masyarakat terhadap perempuan difabel sebagai
orang yang sakit, tidak memiliki harapan, tidak cakap, gila, aseksual dan tidak
berdaya menjadi ruang bagi para pelaku kekerasan yang melihat difabel sebagai
korban yang mudah diperdaya.
Perempuan penyandang disabilitas tuna rungu dan
tuna grahita paling banyak menjadi korban kekerasan seksual Perempuan tuna rungu tidak bisa berteriak dan
sangat ketakutan ketika diancam untuk diam oleh pelaku. Sedangkan perempuan
tuna grahita secara mental dan intelektual sulit membedakan antara eksploitasi
dan kekerasan seksual dengan cinta. Pelaku pun merasa aman karena biasanya
korban sulit untuk diajak berkomunikasi dengan baik. Keluarga korban juga masih
sedikit yang paham tentang hukum sehingga seringkali kekerasan seksual yang
terjadi pada para difabel diabaikan. Berapa banyak pelaporan tindak kejahatan yang
dialami oleh difabel? Sedikit sekali bukan, bahkan hampir tidak ada.
Difabilitas menjadi kendala utama bagi seorang difabel. Dalam
kasus difabel yang menjadi korban kekerasan tidak bisa mendapatkan keadilan
karena sulitnya mendapatkan keterangan yang konsisten dari korban. Padahal
korban merupakan salah satu saksi kunci pengungkapan kasus kekerasan seksual
yang biasanya dilakukan di tempat yang sepi.
Kondisi korban dengan difabilitas
mental seringkali membuat kasus yang dihadapinya berhenti begitu saja karena
sulitnya mendapatkan keterangan dari korban. Hal ini merupakan sebuah bentuk
diskriminasi yang dilakukan oleh kepolisian karena mereka tidak menyediakan
pendamping yang paham tentang difabilitas untuk mendampingi korban. Padahal
pendampingan khusus dari ahli dapat membantu polisi untuk mengungkap kesaksian korban
Meskipun beberapa undang-undang telah mengakomodir hak-hak
difabel namun masih ada beberapa undang-undang dan peraturan yang masih
diskriminatif sehingga memperlemah posisi difabel untuk mendapatkan keadilan.
Belum ada pula undang undang terkait kekerasan seksual terhadap para difabel.
Saya dan kita semuanya tentu mendukung sekali penyegeraan pegesyahan RUU
Pencegahan Kekerasan seksual. Kita harus segera mengakhiri segala bentuk
kekerasan seksual kepada siapa pun, dan di manapun.
Kita hentikan stigma
terhadap para korban yang hanya membuat korban semakin menjadi korban. Tidak
boleh ada yang ditutup-tutupi lagi. Membungkam korban, mengubur peristiwa
kekerasan seksual, sama saja dengan membiarkan semakin banyak korban jatuh dan
semakin banyak pelaku. Kekerasan seksual membunuh martabat kemanusiaan,
menciptakan trauma dan masa depan yang gelap tidak hanya bagi korban dan
keluarganya, tapi sesungguhnya bagi pelaku dan keluarga, serta lingkungannya.
Hari ini di berbagai belahan dunia, masyarakat internasional
tengah bersama-sama merayakan Hari Disabilitas Internasional. Semoga ini
menggugah kesadaran dunia, kesadaran kita semuanya akan pentingnya pemenuhan
perlindungan dan penegakan hak penyandang disabilitas di berbagai sektor
kehidupan. Semoga para penyandang disabilitas senantiasa bersemangat untuk
lebih maju.
Dan kita sebagai manusia normal selalu memberikan dorongan,
motivasi, dan kasih sayang kita kepada mereka. Pemerintah juga perlu kiranya
segera membuat aksi nyata untuk membantu para difabel. Kita semua menyadari apa
yang dilakukan warga masyarakat haruslah juga diimbangi dan diperkuat dengan
kehadiran negara, salah satunya melalui hadirnya undang-undang. Harapannya, dengan
semua itu, sayap yang patah bisa berangsur pulih, dan jagalah terus sayap tersebut
agar ia terus bersinar. Jadi, sekarang Cacat Bukan Lagi Halangan. Cacat juga bukan
alasan untuk dibedakan dan direndahkan.
Sekian pidato dari saya. Mohon maaf jika ada kata yang kurang
berkenan di hadirin sekalian.
Wassalammualaikum warahmatullohi wabarokatuh.
Terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar