:::: MENU ::::
  • Filosofi Tea

  • Diri Baru di Tahun yang baru (Sebuah refleksi akhir tahun)

  • Harga Diri, depresi hingga akhiri hidup dengan bunuh diri

Kamis, 10 Mei 2012


Kolimasi*

Oleh:

Eka Nurcahyani, Mahasiswi Psikologi UM Semester 4





            Tak banyak yang aku dapatkan ketika duduk formal dan mendengarkan paparan dari dosen. Setidaknya itulah yang terlintas dalam pikiranku seusai kuliah tiap harinya. Picik sekali dan betapa aku menyiakan waktuku dengan duduk dan hanya berdiam diri. Entah paham atau tidak, aku tak bisa mengklasifikasikannya. Yang jelas terkadang aku harus berjalan dalam kepura-puraan menjadi orang yang berlagak bisa padahal diri sendiri berada dalam kebingungan. Tak ubahnya, menganggukkan kepala menyetujui asumsi teman yang sebenarnya tidak aku pahami. Sungguh belakangan ini aku hidup dalam banyak persona.



            Baru kemudian ketika aku berada dalam kondisi terancam, tertekan dan dituntut untuk mengambil keputusan serba cepat dengan penuh kecermatan, aku sadar tak seburuk itu diriku. Lomba cerdas cermat kemarin memaksaku merekonstruksi ulang struktur kognitif yang aku miliki. Ibarat membuka sebuah buku, apa yang dibacakan dalam pertanyaan adalah mayoritas yang telah dipelajari di bangku perkuliahan. Bahkan apa yang olehku dan teman-teman remehkan ternyata memberikan kontribusi besar dalam kemenangan team kami. Dewi fortuna nampaknya sedang berbaik hati pada kami kala itu.



            Dari awal aku pesimis akan kemenangan. Ini kali pertama bagiku ikut perlombaan dengan orang-orang hebat. Sahabatku, Bety, ia teramat jago dalam menghafal dan  memahami konsep. Daya ingatnya begitu tajam meski hanya sekilas membaca. Ia mampu menghafal hingga yang detail terkecil dari bahasan materi. Tak heran jika ia menjadi juara kelas.



            Sahabat sekaligus rekanku yang kedua tak kalah hebat. Asri Diana Kamilin. Seorang aktivis kampus yang menggembara hingga ke negeri Malaysia berkat karya tulisnya yang berkualitas. Kemampuannya berbicara mampu memukau semua juri dan hadirin dalam perlombaan kala itu. Argumen-argumennya selalu didasari konsep psikologi yang kompleks. Asri adalah sosok Kartini muda yang gencar memajukan pendidikan dan segala sector yang terlibat didalamnya. Ia menulis, berbicara, juga mengajak civitas akademika untuk memanfaatkan setiap celah sebuah peluang. Mengokohkan sendi keberanian individu.



            Terimakasih untuk Asri yang tak lelah membujuk dan memberikan kepercayaan padaku juga Bety untuk mencoba tampil di depan public dan merefleksikan apa yang telah kami pelajari selama dua tahun ini.  Semangat juangmu membuatku malu akan diri sendiri yang tak bisa apa-apa ini. Aku menantikan suatu waktu dimana aku bisa menyamai bahkan lebih dari apa yang telah kamu kerjakan. Sobat, mari berjuang bersama menapaki masa depan yang masih berselubung misteri ini.



            Asri yang memberikan nama Lentera satu pada team kami. Nama team yang membuatku berpikir bahwa kami hanyalah lentera yang tak bisa menerangi kesederhanaan fakultas kecil kami, FPPsi UM, yang kini belum genap berusia 4 bulan. Masih redup dalam kelam malam dan mudah terkoyak angin yang berhembus perlahan. Cahayanya begitu lembut dan disangsikan dapat memberi kehangatan hati yang haus akan prestasi dan kebanggaan. Lentera.. bias akan makna.



Tim Lentera saat lomba Psychobattle
            Lentera yang awalnya disangsikan eksistensinya kini berpendar terang dalam nyala yang memberi kehangatan. Membuka jalan bagi lentera dan puluhan nama yang lain untuk mengibarkan panji ungu milik FPPsi dimana tempat. Tak ada masalah nama Lentera dipinggirkan dan diganti dengan nama yang lain. Namun bagiku, Lentera membawa sekuak sejarah yang kan ku kenang. Awal aksi dan semoga bukan menjadi yang terakhir.



            Aku teringat kata seorang sahabat karib saat berbincang di parkiran sepeda, “hanya satu kali kita berusaha keras untuk menembus sebuah pintu keraguan dan keterbatasan. Selanjutnya akan menjadi lebih mudah”. Hahhh, aku benci tak mampu menuliskannya persis sama yang ia ucapkan, setidaknya demikian yang ia maksudkan ketika memberi semangat padaku.



            Kawan. Setiap manusia punya cita dan rintangan yang harus dilalui sebelum sebuah aktualisasi diri tercapai. Akan ada beribu cara untuk menghadapi sebuah rintangan, dan ketika rintangan itu terlewati akan ada rintangan lagi yang menanti untuk diselesaikan, bukan untuk ditakuti keberadaanya. Sekali saja, cobalah keluar dari belenggu keterbatasan dan ketidakmampuan diri. Selanjutnya, pengalaman akan mengawalmu menjadi orang dewasa yang matang dan sukses. Carilah teman yang berjalan seiringan dengan tujuan hidupmu. Bawa dia sebagai teman sekaligus penasihat dalam mengambil langkah.



            Mari berjuang, Kawan. Tiga tahun mendatang kita akan bertemu dalam kesuksesan. Kita mulai Kolimasi ini—pengubahan perpencaran tujuan kita menjadi satu tujuan bersama yakni untuk mencapai aktualisasi diri, dan membangun negeri. Salam kemenangan!!!!!!!!!!!!!! 



*Kolimasi : proses pengubahan berkas cahaya (sinar) yg berpencar menjadi berkas sejajar

                                                                                               

                                                                                   
Post on Notes Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

A call-to-action text Contact us