Seorang psikolog (ahli jiwa) yang bernama
Erickson mengatakan bahwa kehidupan ini adalah ibarat sebuah buku. Tentu saja tiap-tiap orang memberikan judul yang
berbeda-beda. Semua itu bergantung bagaimana seseorang
menjalani kehidupannya.
Menurut Erickson, judul buku kehidupan
itu hanya ada dua kemungkinan yaitu: "Kepuasan" atau
"Keputus-asaan”. Kita bisa menjabarkan dengan cara sederhana mengenai
hal ini. Ketika kita membuka kembali buku kehidupan
kita, sedikitnya
ada dua hal yang akan kita temui:
1. Ketika kita memandang ke
belakang, kita akan bertemu dengan musuh kehidupan kita yakni “seharusnya”
Berjumpa dengan masa
lalu
seringkali disertai rasa bersalah. Rasa bersalah itu berkata, "Seharusnya
kamu melakukan sesuatu yang lain, bukan yang telah kamu
lakukan itu". "Seharusnya
kamu mengatakan sesuatu
yang lain, bukan yg telah kamu
katakan itu". "Seharusnya
kamu mengambil keputusan yang lebih bijaksana, dan bukan keputusan yang bodoh
itu". "Seharusnya kamu menghormati orang
tuamu, bukannya malah memaki dan melukai hati mereka". "Seharusnya membantu orang lain dengan tulus,
dengan hati nurani yang murni,
bukan supaya dilihat orang".
"Seharusnya-seharusnya" seperti ini membuat kita terus merasa bersalah
mengenai tindakan-tindakan kita di masa lampau dan
menghalangi kita untuk sepenuhnya menghayati hidup kini dan di sini. Penyesalan dengan berkata, "Seharusnya"
inilah musuh kehidupan kita. Kita tidak
bisa mengubah lembaran-lembaran atau masa lalu kita, kita tidak bisa mengubah kenyataan bahwa kita telah
bertindak dalam cara-cara
tertentu. Kita tidak bisa mengubah hal yang tidak terelakkan, yang memang sudah terjadi.
Kita memang tidak
dapat mengubah masa lalu kita, tetapi kita dapat mengubah sikap-sikap kita yang salah selama ini. Dan
yang istimewa adalah bahwa kita
memiliki pilihan setiap hari mengenai sikap apa yang akan kita ambil untuk hari itu. Oleh karena itu, mari
kita hidup dengan bijaksana agar
kita tidak menyesali sikap-sikap yang telah kita ambil.
2. Ketika kita memandang ke depan, musuh kehidupan kita yakni "seandainya"
Hal yang
lebih buruk daripada rasa bersalah atau penyesalan kita adalah
kecemasan-kecemasan kita. Kecemasan-kecemasan kita itu memenuhi hidup kita dengan
pertanyaan: "Bagaimana seandainya saya kehilangan pekerjaan
saya?". "Bagaimana seandainya anak saya tidak diterima di sekolah
favorit?". "Bagaimana seandainya saya tidak naik kelas?". "Bagaimana
seandainya skripsi saya tidak selesai?". "Bagaimana seandainya saya tidak mendapat kekasih?". "Bagaimana
seandainya orang tua saya tidak mampu lagi membiayai studi saya?". "Bagaimana seandainya orang yang saya cintai meninggal?".
"Seandainya-seandainya" ini dapat begitu memenuhi
pikiran kita dan membuat kita tidak mampu lagi melihat bunga-bunga yang
indah di kebun
dan anak-anak kecil yang bercanda ria di taman bermain. "Seandainya-seandainya"
ini akan merampas sukacita di dalam hidup kita. "Seandainya-seandainya" ini juga dapat
membuat kita tidak mendengar sapaan simpatik seorang sahabat.
Lantas kita harus bagaimana?
Musuh kehidupan "Seharusnya"
dan "Seandainya
" adalah kekuatan-kekuatan yang menarik kita ke belakang, ke masa lampau
yang tidak dapat diubah lagi, dan menyeret kita ke depan, ke masa depan yang tidak dapat "diramalkan".
Selagi kita
masih memiliki waktu, mari kita benahi diri kita. Kesalahan kita di masa lampau,
ketidakpuasaan kita di hari kemaren biarlah menjadi pelajar berharga agar kita tidak
mengalami hal yang sama di kemudian hari. Kita di masa depan adalah kita yang
kita persiapkan hari ini. Mari kita atur kembali apa rencana kita, tujuan kita
dan tindakan-tindakan kita hari ini untuk esok yang lebih baik. Jadikan diri
kita bermanfaat, sukses dan puas bukan hanya untuk kita rasakan sendiri tapi juga
untuk orang orang di sekeliling kita.
Dan kelak jika tiba waktunya buku kehidupan itu akan
berakhir, lembar halamannya
habis, tinta yang kita punya
hanya tersisa untuk menuliskan judul buku kehidupan kita, maka setelah
membaca dengan teliti dan merenungkan bab demi bab buku kehidupan itu, kita dapat memberikan
judul buku kehidupan kita, “Kepuasan”.
0 komentar:
Posting Komentar