Pelopor teori prasangka, G. Allport
menyebutkan, bahwa prasangka adalah
antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak
luwes, yang dapat dinyatakan dan dirasakan. Antipati
bisa muncul pada seseorang secara individual atau pada kelompok. Selanjutnya Kartono,
(1981) menguraikan bahwa prasangka merupakan penilaian yang terlampau
tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifatnya berat
sebelah dan dibarengi tindakan yang menyederhanakan suatu realitas.
Berdasarkan teori
Allport dan Kartono ini dapat disimpulkan bahwa prasangka yang terjadi pada
kasus Matthew adalah generalisasi identitas gay yang tidak diterima di
masyarakat karena gay dianggap salah satu bagian dari penyimpangan social,
hina, penyebar HIV/AIDS. Generalisasi pernyataan tak berdasar seperti itu yang
kiranya menyebabkan seseorang yang mugkin baru pertama bertemu dengan gay akan
mempunyai persepsi “gay seorang gay
adalah seorang yang buruk”.
Sementara Adorno menyatakan bahwa prasangka adalah merupakan salah satu
tipe kepribadian. Oleh karena itu, kita tidak dapat menyalahkan suatu tindakan
kekerasan yang mengakibatkan timbulnya kerusakan, apalagi kerusakannya hanya
sebatas wilayah di mana kekerasan itu terjadi (rasisme misalnya). Menurut
Adorno, tidak ada prasangka sosial yang dinilai sama oleh orang yang berbeda.
Kesimpulannya, prasangka sangat tergantung dari cara orang memandang prasangka
tersebut.
Prasangka
sosial menurut Papalia dan Sally,
(1985) adalah sikap negatif yang ditujukan pada orang lain yang berbeda dengan
kelompoknya tanpa adanya alasan yang mendasar pada pribadi orang tersebut.
Lebih lanjut diuraikan bahwa prasangka sosial berasal dari adanya persaingan
yang secara berlebihan antar 2 individu atau kelompok. Selain itu proses
belajar juga berperan dalam pembentukan prasangka sosial dan kesemuanya ini
akan terintegrasi dalam kepribadian seseorang.
Berdasarkan teori
prasangka yang dikemukaakan oleh Adorno, Papalia dan Sally, prasangka yang
berakibat penganiyayaan dan kematian pada kasus Matthew dianggap bukan
perbuatan yang salah dikarenakan tiap manusia mempunyai cara pandang berbeda
terhadap hal yang mereka lihat. Penulis dapat menyimpulkan ada kemiripan teori
prasangka Adorno dengan aliran humanisme
yang mengganggap tiap individu itu unik terlepas dari apapun yang ada pada
diri mereka, mulai dari cirri fisik hingga kepribadian.
Keempat tokoh prasangka tersebut sama-sama
menyetujui, bahwa prasangka mengandung sikap, pikiran keyakinan dan
kepercayaan. Dalam kasus penganiyayaan yang berujung pembunuhan pada Matthew, sikap yang dimaksud adalah sikap masyarakat
yang kurangg ramah terhadap kaum gay, sikap antipasti terhadap kaum gay. Pikiran berisi keyakinan dan kepercayaan bahwa gay itu kelompok yang tidak
seharusnnya ada diantara kelompok pria dan wanita. Gay tidak memiliki peran
jelas di masyarakat, gay bukanlah jenis kelamin yang ada di Kartu Tanda
Pengenal dan tidak diakui keberadaannya di masa itu. Gay juga dianggap sebagai
penyebar virus mematikan HIV/AIDS.
Dengan demikian, prasangka bukanlah tindakan. Prasangka menjadi tindakan manakala ada
diskriminasi yang mengarah ke tindakan sistematis, yaitu tindakan menyingkirkan
status dan peran sekelompok orang dari hubungan (relasi), pergaulan serta
komunikasi antar manusia. Misalnya dengan cara
mengurangi peran dan fungsi, memisahkan tempat tinggal, mengadakan pemindahan
(pengusiran, penelantaran, migrasi, emigrasi, imigrasi, resetlement, dan
sebagainya), membuat huru-hara, teror, profokasi, dan sebagainya.
Sedangkan
menurut teori belajar sosial,
prasangka adalah sesuatu yang dipelajari seperti halnya individu belajar
nilai-nilai sosial yang lain. Prasangka yang dimilki oleh pembunuh Matthew
didapatkan melalui pemisalan berikut ini, prasangka sudah ada dan dikenal
semenjak usia kanak-kanak. Biasanya diperoleh anak-anak melalui proses sosialisasi. Anak-anak banyak
yang menginternalisasikan norma-norma mengenai stereotipe dan perilaku antar
kelompok yang ditetapkan oleh orang tua dan teman sebaya. Selain dari orang tua
dan teman sebaya, media massa juga menjadi sumber anak untuk mempelajari
stereotipe dan prasangka. Konkretnya seperti ini:
Ketika masih anak-anak, pembunuh Matthew mungkin
melihat orangtuanya bersikap diskriminatif terhadap individu gay, mendengar
ucapan-ucapan orang tuanya yang meremehkan atau menghina gay, dan melarang
anaknya untuk mendekat atau berkomunikasi dengan gay. Dalam perkembangan
selanjutnya, mereka akan mendengar pembicaraan teman-teman sebayanya yang
mengatakan bahwa orang-orang gay adalah sampah masyarakat, mereka bagian dari
orang yang tidak diakui keberadaannya di masyarakat, dipandang hina oleh orang
lain, apalagi ketika mereka menemukan anak yang diasuh oleh seorang bapak gay,
anak tersebut dihina dan dikucilkan.
Orang tua mereka juga menekankan cerita-cerita
yang mengatakan orang gay adalah pelanggar hukum. Sehingga dari
kejaadian-kejadian tersebut anak diajarkan untuk berprasangka terhadap individu
gay. Anak-anak memiliki model orang tua dan teman sebaya yanag berprasangka dan
juga menghukum jika ia berkomunikasi dengan individu gay atau sanak keluarga
dari individu gay, dengan demikian anak belajar untuk membenci gay. Semakin
berkembang dewasa, semakin jelas terlihat dan nyata tindak perbedaan yang
dilihat pada individu gay, bahkan mereka dapat menyimpulkan bahwa gay adalah
penyebar HIV/AIDS berdasarkan berita televise juga teman sejawat mereka.
Dilihat dari sepenggal
kisah kehidupan Matthew Shepard, tidak sepenuhnya semua masyarakat tidak menerima
statusnya sebagai gay. Ini dibuktikan dengan kiprahnya di dunia pendidikan
bahkan ia terpilih sebagai wakil mahasiswa untuk Wyoming Dewan Lingkungan.
Mereka yang bermasalah dengan gay menurut beberapa teori dikatakan sebagai homophobia yang biasa melakukan gay bashing untuk denial mereka sebenarnya adalah juga gay.
Berangkat dari kasus ini, studi
tentang homophobia semakin kencang dilakukan para ahli. Istilah homophobia
sendiri dicetuskan oleh Winberg (1972) untuk menggambarkan
ketakutan yang terus menerus ada dan tidak tidak rasional terhadap lesbian dan
gay. Ketakutan dan kecemasan terhadap lesbian dan gay ini menjadi tidak
rasional karena didasarkan pada fakta yang validitasnya dipertanyakan. Sebagai
contoh kepercayaan salah bahwa lesbian dan gay itu adalah biang pembawa
HIV/AIDS.
Dari sisi prasangka sosial, para
ahli juga memberikan istilah heteroseksisme (Herek, 1996). Herek mengambarkan bahwa heteroseksisme
ini merupakan bentuk diskriminasi instutisional terhadap gay dan lesbian. Ahli
ini berpendapat, bahwa antigay terbentuk secara institusional asumsi budaya
bahwa seksualitas reproduksi adalah satu-satunya hasil perkembangan
psikoseksual yang sehat dan tepat. Jadi antigay mendapat dukungan mendapat
dukungan dari masyarakat, alih-alih mendapat hukuman atas tindakan mereka.
Selain dari sisi sosial, para ahli
juga mengemukakan pendapat lain bahwa homophobia itu merupakan patologi personal seseorang (istilah
patologis merupakan sebutan abnormal untul keadaan psikologis seseorang).
Seorang ahli, Marvin Kantor (1998)
memandang homophobia sebagai gangguan emosional dimana kepercayaan yang
salah mengenai lesbian dan gay dan kecemasan yang terkait dengan kepercayaan
ini sangat mirip gejalanya dengan penderita paranoid.
Gay
bashing
(serangan fisik maupun verbal yang keji terhadap gay dan lesbian) dilakukan
oleh orang yang mengidap homophobia semata-mata hanya untuk memuaskan
perasaan mereka bahwa mereka tidak memiliki perasaan seperti gay dan lesbian tersebut. Dengan
menghukum para gay dan lesbian ini secara keji di dalam kelompok mereka,
penganiaya ini ingin membuktikan pada diri mereka sendiri dan kepada orang
bahwa ia tidak bagian dari gay dan lesbian. (Bharati Chaudhuri -
Invisible tension 1992)
Jadi, tindakan yang dilakukan oleh
dua pembunuh Matthew Shepard, yakni Aaron James McKinney dan Russel Arthur
Henderson, berupa mengikat Matthew ke pagar split-rel, dipukul habis-habisan dengan
pistol, dicambuk, ditinggalkan sendirian dan dibiarkan mati di dingin malam,
adalah bentuk kompensasi atau denial
(penolakan) kalau diri mereka sejatinya adalah gay atau lesbian. Hal ini
nampaknya benar dikarenakan enam tahun kemudian tertdapat pemberitaan terbaru
bahwasannya satu dari pembunuh Matthew, yakni Aaron James McKinney adalah
seorang gay.
Prasangka
sosial dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama karena prasangka sosial
merupakan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi kelompok yang diprasangkai
tersebut. Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tentang dampak prasangka social
adalah bahwa dengan adanya prasangka sosial akan mempengaruhi sikap dan tingkah
laku seseorang dalam berbagai situasi. Prasangka sosial dapat menjadikan
seseorang atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau bersosialisasi dengan
kelompok lain.
Kembali kekasus Matthew, terlepas dia gay,
tindakan menganiaya sampai menghilangkan nyawa tetap saja merupakan tindakan
pelanggaran hukum berat dan tidak bisa diterima akal sehat. Memang kejadian
seperti ini mungkin belum ditemukan di Indonesia, tetapi berharga untuk
menambah wawasan dan membuka mata kita, agar suatu saat nanti, kita tidak akan
pernah mendengar kejadian seperti ini terjadi di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar