:::: MENU ::::
  • Filosofi Tea

  • Diri Baru di Tahun yang baru (Sebuah refleksi akhir tahun)

  • Harga Diri, depresi hingga akhiri hidup dengan bunuh diri

Jumat, 03 Februari 2012




Pelopor teori prasangka, G. Allport menyebutkan, bahwa prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes, yang dapat dinyatakan dan dirasakan. Antipati bisa muncul pada seseorang secara individual atau pada kelompok. Selanjutnya Kartono, (1981) menguraikan bahwa prasangka merupakan penilaian yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifatnya berat sebelah dan dibarengi tindakan yang menyederhanakan suatu realitas.


Berdasarkan teori Allport dan Kartono ini dapat disimpulkan bahwa prasangka yang terjadi pada kasus Matthew adalah generalisasi identitas gay yang tidak diterima di masyarakat karena gay dianggap salah satu bagian dari penyimpangan social, hina, penyebar HIV/AIDS. Generalisasi pernyataan tak berdasar seperti itu yang kiranya menyebabkan seseorang yang mugkin baru pertama bertemu dengan gay akan mempunyai persepsi “gay seorang gay adalah seorang yang buruk”.  


Sementara Adorno menyatakan bahwa prasangka adalah merupakan salah satu tipe kepribadian. Oleh karena itu, kita tidak dapat menyalahkan suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan timbulnya kerusakan, apalagi kerusakannya hanya sebatas wilayah di mana kekerasan itu terjadi (rasisme misalnya). Menurut Adorno, tidak ada prasangka sosial yang dinilai sama oleh orang yang berbeda. Kesimpulannya, prasangka sangat tergantung dari cara orang memandang prasangka tersebut.


Prasangka sosial menurut Papalia dan Sally, (1985) adalah sikap negatif yang ditujukan pada orang lain yang berbeda dengan kelompoknya tanpa adanya alasan yang mendasar pada pribadi orang tersebut. Lebih lanjut diuraikan bahwa prasangka sosial berasal dari adanya persaingan yang secara berlebihan antar 2 individu atau kelompok. Selain itu proses belajar juga berperan dalam pembentukan prasangka sosial dan kesemuanya ini akan terintegrasi dalam kepribadian seseorang.



Berdasarkan teori prasangka yang dikemukaakan oleh Adorno, Papalia dan Sally, prasangka yang berakibat penganiyayaan dan kematian pada kasus Matthew dianggap bukan perbuatan yang salah dikarenakan tiap manusia mempunyai cara pandang berbeda terhadap hal yang mereka lihat. Penulis dapat menyimpulkan ada kemiripan teori prasangka Adorno dengan aliran humanisme yang mengganggap tiap individu itu unik terlepas dari apapun yang ada pada diri mereka, mulai dari cirri fisik hingga kepribadian.


 Keempat tokoh prasangka tersebut sama-sama menyetujui, bahwa prasangka mengandung sikap, pikiran keyakinan dan kepercayaan. Dalam kasus penganiyayaan yang berujung pembunuhan pada Matthew, sikap yang dimaksud adalah sikap masyarakat yang kurangg ramah terhadap kaum gay, sikap antipasti terhadap kaum gay. Pikiran berisi keyakinan dan kepercayaan bahwa gay itu kelompok yang tidak seharusnnya ada diantara kelompok pria dan wanita. Gay tidak memiliki peran jelas di masyarakat, gay bukanlah jenis kelamin yang ada di Kartu Tanda Pengenal dan tidak diakui keberadaannya di masa itu. Gay juga dianggap sebagai penyebar virus mematikan HIV/AIDS.


 Dengan demikian, prasangka bukanlah tindakan. Prasangka menjadi tindakan manakala ada diskriminasi yang mengarah ke tindakan sistematis, yaitu tindakan menyingkirkan status dan peran sekelompok orang dari hubungan (relasi), pergaulan serta komunikasi antar manusia. Misalnya dengan cara mengurangi peran dan fungsi, memisahkan tempat tinggal, mengadakan pemindahan (pengusiran, penelantaran, migrasi, emigrasi, imigrasi, resetlement, dan sebagainya), membuat huru-hara, teror, profokasi, dan sebagainya.


Sedangkan menurut teori belajar sosial, prasangka adalah sesuatu yang dipelajari seperti halnya individu belajar nilai-nilai sosial yang lain. Prasangka yang dimilki oleh pembunuh Matthew didapatkan melalui pemisalan berikut ini, prasangka sudah ada dan dikenal semenjak usia kanak-kanak. Biasanya diperoleh anak-anak melalui proses sosialisasi. Anak-anak banyak yang menginternalisasikan norma-norma mengenai stereotipe dan perilaku antar kelompok yang ditetapkan oleh orang tua dan teman sebaya. Selain dari orang tua dan teman sebaya, media massa juga menjadi sumber anak untuk mempelajari stereotipe dan prasangka. Konkretnya seperti ini:


Ketika masih anak-anak, pembunuh Matthew mungkin melihat orangtuanya bersikap diskriminatif terhadap individu gay, mendengar ucapan-ucapan orang tuanya yang meremehkan atau menghina gay, dan melarang anaknya untuk mendekat atau berkomunikasi dengan gay. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka akan mendengar pembicaraan teman-teman sebayanya yang mengatakan bahwa orang-orang gay adalah sampah masyarakat, mereka bagian dari orang yang tidak diakui keberadaannya di masyarakat, dipandang hina oleh orang lain, apalagi ketika mereka menemukan anak yang diasuh oleh seorang bapak gay, anak tersebut dihina dan dikucilkan.

Orang tua mereka juga menekankan cerita-cerita yang mengatakan orang gay adalah pelanggar hukum. Sehingga dari kejaadian-kejadian tersebut anak diajarkan untuk berprasangka terhadap individu gay. Anak-anak memiliki model orang tua dan teman sebaya yanag berprasangka dan juga menghukum jika ia berkomunikasi dengan individu gay atau sanak keluarga dari individu gay, dengan demikian anak belajar untuk membenci gay. Semakin berkembang dewasa, semakin jelas terlihat dan nyata tindak perbedaan yang dilihat pada individu gay, bahkan mereka dapat menyimpulkan bahwa gay adalah penyebar HIV/AIDS berdasarkan berita televise juga teman sejawat mereka.


Dilihat dari sepenggal kisah kehidupan Matthew Shepard, tidak sepenuhnya semua masyarakat tidak menerima statusnya sebagai gay. Ini dibuktikan dengan kiprahnya di dunia pendidikan bahkan ia terpilih sebagai wakil mahasiswa untuk Wyoming Dewan Lingkungan. Mereka yang bermasalah dengan gay menurut beberapa teori dikatakan sebagai homophobia yang biasa melakukan gay bashing untuk denial mereka sebenarnya adalah juga gay.

Berangkat dari kasus ini, studi tentang homophobia semakin kencang dilakukan para ahli. Istilah homophobia sendiri dicetuskan oleh Winberg (1972) untuk menggambarkan ketakutan yang terus menerus ada dan tidak tidak rasional terhadap lesbian dan gay. Ketakutan dan kecemasan terhadap lesbian dan gay ini menjadi tidak rasional karena didasarkan pada fakta yang validitasnya dipertanyakan. Sebagai contoh kepercayaan salah bahwa lesbian dan gay itu adalah biang pembawa HIV/AIDS.
Dari sisi prasangka sosial, para ahli juga memberikan istilah heteroseksisme (Herek, 1996). Herek mengambarkan bahwa heteroseksisme ini merupakan bentuk diskriminasi instutisional terhadap gay dan lesbian. Ahli ini berpendapat, bahwa antigay terbentuk secara institusional asumsi budaya bahwa seksualitas reproduksi adalah satu-satunya hasil perkembangan psikoseksual yang sehat dan tepat. Jadi antigay mendapat dukungan mendapat dukungan dari masyarakat, alih-alih mendapat hukuman atas tindakan mereka.

Selain dari sisi sosial, para ahli juga mengemukakan pendapat lain bahwa homophobia itu merupakan patologi personal seseorang (istilah patologis merupakan sebutan abnormal untul keadaan psikologis seseorang). Seorang ahli, Marvin Kantor (1998) memandang homophobia sebagai gangguan emosional dimana kepercayaan yang salah mengenai lesbian dan gay dan kecemasan yang terkait dengan kepercayaan ini sangat mirip gejalanya dengan penderita paranoid.

Gay bashing (serangan fisik maupun verbal yang keji terhadap gay dan lesbian) dilakukan oleh orang yang mengidap homophobia semata-mata hanya untuk memuaskan perasaan mereka bahwa mereka tidak memiliki perasaan seperti gay dan lesbian tersebut. Dengan menghukum para gay dan lesbian ini secara keji di dalam kelompok mereka, penganiaya ini ingin membuktikan pada diri mereka sendiri dan kepada orang bahwa ia tidak bagian dari gay dan lesbian. (Bharati Chaudhuri - Invisible tension 1992)

Jadi, tindakan yang dilakukan oleh dua pembunuh Matthew Shepard, yakni Aaron James McKinney dan Russel Arthur Henderson, berupa mengikat Matthew ke pagar split-rel, dipukul habis-habisan dengan pistol, dicambuk, ditinggalkan sendirian dan dibiarkan mati di dingin malam, adalah bentuk kompensasi atau denial (penolakan) kalau diri mereka sejatinya adalah gay atau lesbian. Hal ini nampaknya benar dikarenakan enam tahun kemudian tertdapat pemberitaan terbaru bahwasannya satu dari pembunuh Matthew, yakni Aaron James McKinney adalah seorang gay.

Prasangka sosial dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama karena prasangka sosial merupakan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi kelompok yang diprasangkai tersebut. Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tentang dampak prasangka social adalah bahwa dengan adanya prasangka sosial akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang dalam berbagai situasi. Prasangka sosial dapat menjadikan seseorang atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau bersosialisasi dengan kelompok lain.
Kembali kekasus Matthew, terlepas dia gay, tindakan menganiaya sampai menghilangkan nyawa tetap saja merupakan tindakan pelanggaran hukum berat dan tidak bisa diterima akal sehat. Memang kejadian seperti ini mungkin belum ditemukan di Indonesia, tetapi berharga untuk menambah wawasan dan membuka mata kita, agar suatu saat nanti, kita tidak akan pernah mendengar kejadian seperti ini terjadi di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

A call-to-action text Contact us