Memorian, 32 Jam di Ponorogo
Perjalanan ini…. terasa sangat melelahkan
Sayang engkau tak duduk disampingku kawan
Banyak cerita…..
Yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering,
Bebatuan
(Ebit G. Ade)
Sabtu pagi usai shubuh berkumandang,
kurasa getar dari atas ranjang—tepat disampingku. Ponselku nampaknya sudah
bordering sejak beberapa menit yang lalu, namun baru sekarang mampu kudengar
irama merdunya. Dengan mata sayu kuangkat telepon dari teman lama di organisasi
yang menyibukkanku dengan beragam kegiatan. Ahhh, telpon dari Kak Dwi. Ada apa
gerangan pagi-pagi buta begini, ia menelponku. Aku terdiam sesaat. Berpikir.
Aku letakkan kembali ponselku di atas ranjang dan berlari ke kamar mandi.
Malang di pagi hari membuatku enggan
untuk mandi, tapi tetap aku paksakan. Aku baru ingat kalau pagi ini aku dan
kelima teman-teman KSR harus berangkat ke medan laga di Ponorogo. “Eka, jam
setengah lima kita kumpul di markas. Jam lima kita berangkat ke landung dianter
temen-temen. Kita naik bis umum untuk ke Ponorogo”, kata-kata kak Wiwit
berputar dalam telingaku—membentur gendang teliga kemudian kembali berdengung
suara seperti itu lagi. Tuhan, pasti aku akan datang telat diantara kami
berenam. “Ma’af kawan, semalam aku tidur terlalu larut hingga bangun agak siang
dan belum melakukan packing barang”, gumamku membela diri.
Mandi pagi cukup lima belas menit.
Ponselku masih saja menyanyi dan menari sampai kudengar kakak satu kamarku meneriakkan
kata, “akhwat, lagunya lho”. “Afwan, kak”, jawabku seraya mempercepat langkah mendekati
ponsel. Ada tiga pesan baru dan tujuh panggilan tidak terjawab. Tertulis dari
KSR Meiria, KSR Kak Dwi, KSR Kak Wiwit. Woooowww… sesaat aku tersenyum merasa
seperti orang penting dan sangat dibutuhkan melihat banyaknya yang
menghubungiku. (heheeeeeheee)
Pukul 06.00 kita meninggalkan kota
Malang dan beranjak ke Jombang lewat Batu. Hening, tanpa suara. Semua diam
entah menahan mualnya perut yang teraduk karena lintasan batu-pujon yang
berkelak-kelok ataukah melambung dalam alam mimpi masing-masing. Anang yang
biasanya ramai, juga terdiam. Duduk di kursi paling belakang—menyandarkan badan
ke jendela yang tak bisa dibuka di sebelah kiri, menatapi ponsel dan
menggerakkaan jemarinya. Aku tertawa dalam hati melihat ekspresi teman-teman.
Mereka menahan sakit dan mencoba membuat nyaman diri mereka sendiri. Ini
perjalanan panjang—6 jam—dengan rute yang belum pernah mereka lewati. Suyngguh
lucu melihat mereka dalam keadaan yang demikian.
“Ka, kamu sudah pernah lewat sini
kan? Masih berapa lama lagi sampai di jombang?” Tanya Kak Wiwit ketika bus kami
berhenti lama di daerah kabupaten Kediri. “sekarang jam berapa? (aku mencoba
menerka dengan mengurangkan angka tiga dengan waktu yang telah kami tempuh).
Mungkin sekitar satu atau satu jam setengah lagi”. “ahhh, masih lama”. Sebetar kemudian Kak Wiwit tertawa riuh di
belakang karena Anang bertingkah konyol.
“Mas, sampeyan rayonisasi dimana? Kita nanti berarti mencar
sendiri-sediri no. Aku rayonisasi di Bojonegoro.”
“Lhoh… Mey iki yo opo sech. Ngapain dia nitipin camdig ke Anang lo kita beda
tempat. Ahh, mungkin nanti
sebelum pencar camdignya diminta lagi oleh
Mey”, geming Kak Wiwit.
“Hah…. Opo Bojonegoro. Kita i
semua Rayoisasi ke Ponorogo, Anang. Bukan Bojonegoro.
Aku memang asli Bojonegoro tapi nggak ikut rayon Bojonegoro. Ponorogo”. Sambung Mey dengan senyum
dan nada tegas di akhir kalimatnya.
“Ealah. Tak kirain aku ditempatkan
di Bojonegoro lha semalem aku ngangkat telpon
dari Mbak Nike dengan setengah sadar ngono.
(Anang mempraktekkan ia mengangkat
ponsel dengan kedua jari
memegang gagang ponsel again atas dan
dengan mata masih menutup seraya
mengatakan, ‘ohhh.. iyo Mbak. He’em..he’em’).
“Aduh. Anang. Beda atuh Ponorogo dengan Bojonegoro. Rutene aja dah beda”, sambungku
sambil tertawa.
Berkat Anang kami beremapt bisa
tertawa leps dan sejenak melupakan penat karenan lamanya perjalanan. Perjalanan
sungguh panjang, usai tiga jam perjalanan sampai dengan Randu, Jombang. Kami
melanjutkan perjalanan kembali dengan tujuan kota Ponorogo dengan Bus Panda
Hijau (Bus Restu). Kasihan Anang, karena maksimal bangku di Bus cuma terdiri
dari tiga kursi, Anang harus duduk di bangku belakang kami sendirian.
Tiga jam kemudian kami tiba di terminal
Ponorogo. Lelah sekali rasanya tubuh ini. Enam jam perjalanan, dan masih harus
dilanjutkan dengan 15 menit lagi perjalanan ke SMAN 2 Ponorogo dengan bus
jurusan Trenggalek. Keluar dari Bus Restu dengan fasilitas AC dan pertama masuk
ke Bus Trenggalek tanpa AC, rasanya seperti di masukkan dslam oven. Sudah tahu udara panas seperti
itu, malah kami masih disuruh menunggu lama sekali. Rasanya benar-benar seperti
diminta duduk manis di atas panggangan roti dan dinyalakan di atas kompor.
Panas… Gerah.. Capek, berbaur jadi satu. Anang, tak bisa berkutik ketika berada
di bus ini. Enam jam yang lalu ia terjaga disaat kami semua tidur, sekarang
giliran ia yang merebahkan badan pada tasnya kemudian memejamkan mata.
SMAN 2 Ponorogo, sekolah yang
tertata rapi namun cukup sepi ketika kami sampai disana. Rencana awal tak
terlaksana sewajarnya, kami membersihkan dan menata empat ruang kelas terlebih
dahulu sebelum akhirnya makan siang di kantin sekolah. Hahahhaha…. Kagi-lagi
hal konyol dan menggelikan terjadi. Kini setting tempatnya berada di kantin.
Ponorogo benar-benar kota yang panas sekali, sampai-sampai Aku dan Anang
menghabiskan 3 gelas minuman dalam waktu yang singkat. Mey dan Kak Wiwit juga
begitu, hanya saja mereka menghabiskan 1 gelas minuman lebih sedikit dari kami.
Mey dan Kak Wiwit terheran melihat aku dan Anang yang makan sambel begitu
banyak. “Gila, satu mangkok sambel habis oleh kalian berdua,” gumam Kak Wiwit
dan Mey Ria.
Usai makan kami melanjutkan
perjalanan ke kediaman Kak Dwi. Sayang sekali, satu motor bocor dan harus
segera ditambal. Lucunya dalam pencarian tambal ban, Kak Dwi tidak menyadari
kalau Lucy tertinggal di sekitaran pawai anak TK. Ia harus alik arah menjemput
Lucy yang tertinggal.
Di rumah Kak Dwi kami berlima dijamu
dengan teramat baik. Disuguhkan jus jambu biji, roti jawa, juga dimasakkan
makan malam dan pagi yang lazis mantap
kali, ditambah lagi snack ringan, buah-buahan, juga minuman hangat di pagi hari
setelah bangun dari tidur. Penjamuan yang begitu istimewa. Malam hari usai
makan malam, sebenarnya kami berencana berkeliling alun-alun dan melihat nuansa
kota Ponorogo tatkala malam, sayangnya langit menagis begitu hebat sambil
berteriak memekakkan telinga. Pukul 10.00 baru langit tenang, tapi kami
teranjur menikmati istirahat malam hingga akhirnya rencana pergi ke alun-alun
tinggallah rencana.
Pagi hari suasana agak memanas
karena terjadi sedikit kericuhan dengan pendamping team dari sebuah sekolah
yang tidak terima dengan adanaya peraturan “peserta yang diganti harus
mengikutsertakan surat keterangan sakit maksimal pukul 13.00 hari itu juga”.
Pendamping tersebut sampai melaporkan ke PMI Daerah Jawa Timur via telepon dan
mencari dukunga dari mereka. Kami tak gencar dengan adanya masalah yang
demikian. Inilah peraturan yang kami miliki dan tlah disepakati bersama oleh
Panitia Jayapalmera VII KSR PMI Unit UM. Setiap permainan mempunyai aturan yang
harus dipatuhi, barangsiapa ingin ikut bermain maka taatilah peraturan
permainan yang telah ada tersebut.
Pukul 14.00 kami berlima
meninggalkan SMAN 2 Ponorogo menuju alun-alun kota. Kami melihat sebatas lewat
memutari alun-alun, makan siang di warung pojok dekat Masjid Agung yang
menyediakan makanan dengan harga selangit beda sekali dengan kantin SMAN 2
Ponorogo yang menyediakan makanan dengan harga pas di kantong. Naik bus jurusan
terminal Ponorogo dan lanjut dengan Bus Restu untuk pulang ke Jombang. Melalui
rute yang sama seperti berangkat, semuanya pulang ke Malang kecuali aku. Aku
memisahkan diri di terminal Madiun—pulang ke Ngawi dengan bus sugeng Rahayu
dengan satu jam perjalanan.
Meski takbanyak yang kami lakukan di
Ponorogo, 32 jam memberikan pengalaman yang menarik dan berkesan bagi kami.
Suatu ketika ketika kami kembali ke kota reog tersebut, kota Ponorogo akan
berkisah tentang masa silam kami disana. Kadang tersenyum hingga tertawa keras
bersama, bingung dan saling memarahi, menikmati kudapan bersama. Sampai nanti.
Kawan. Terimakasih pula untuk kakak alumni yang telah berkenan hadir dan
membawakan banyak makanan kepada kami. Dengan setulus hati kami merasa senang
dengan kehadiran kalian yang masih ingat dan peduli dengan KSR beserta
anggotanya. Kami merasa tersanjung dengan kehadiran kalian dan bantuan yang
telah kalian berikan.
0 komentar:
Posting Komentar